SUMBU PENDEK & SUMBU PANJANG
(Seruan
aksi 112 dan menjaga nafas perjuangan 212)
Tiga ribu pasukan itu bergerak dengan langkah mantap dan pasti.
Tak ada satupun gurat ketakutan atau gentar. Semua wajah berseri dan penuh
khusyu’. Lembut tutur kata antar mereka. Sorot mata yang bertemu diantara
mereka mengguratkan kasih sayang yang tak bisa dilukiskan. Sudah menjadi
rahasia umum di kawasannya, pasukan ini tak pernah terkalahkan. Dan sudah
menjadi rahasia umum pula, mereka menang bukan karena mengandalkan jumlah,
melainkan karena ada kekuatan ‘ghaib’ yang selalu bersama mereka.
![]() |
Habib Rizieq ketika diwawancarai wartawan tentang AKSI 112 |
Sejarah
tangguh inilah yang membuat musuh, siapapun ia, pasti bergidik jika mendengar
nama-nama mereka disebut satu persatu. Karena setiap lelaki diantara mereka
setara dengan seribu pasukan.
Tiga ribu pasukan ini dipimpin tiga panglima sekaligus. Penunjukan
tiga panglima sekaligus ini juga aneh dalam dunia militer karena umumnya
panglima perang hanya satu orang, namun pemimpin tertingginya di Madinah
berpesan; jika Zaid terbunuh, maka panglima kalian adalah Ja’far bin Abu
Thalib. Jika Ja’far terbunuh, maka panglima kalian adalah Abdullah bin Rawahah.
Rasulullah sebagai pemimpin tertingginya tidak turut serta. Inilah sebab debat
para ulama; apakah perang ini disebut sariyah ataukah ghozwah?
Pergerakan tiga ribu pasukan ini dipicu masalah ‘kecil’. Masalah
'kecil' bagi orang sekarang, karena hanya satu orang utusan dibunuh oleh
penguasa Romawi.
Ya ‘hanya’ satu orang. Dan apalah arti nyawa satu orang?
Inilah kesimpulan sebagian kita, jika sudut pandang yang dipakai
adalah sudut pandang kekinian.
Benar-benar tidak sebanding, jika 3.000 orang harus dikorbankan
demi satu orang. Ini pola pikir orang sekarang yang lemah iman.
Namun pemimpin Madinah saat itu memiliki pandangan yang sangat
‘ekstrim’.
Meski ‘hanya’ satu orang, namun utusan ini adalah seorang muslim.
Dan satu orang muslim jauh lebih berharga di mata Allah dan RasulNya
dibandingkan semua manusia kafir. Dan terbunuhnya seorang utusan adalah
penghinaan terhadap marwah agama dan negara. Nah ini masalahnya. Pembunuhan
utusan hanyalah pesan pelecehan terhadap kehormatan Madinah dan Umat
Islam.
Dan satu hal yang membedakan manusia saat ini dengan para
penggembala kambing (sahabat radiyallahu anhum) yang saat itu dipimpin oleh
Muhammad saw; adanya kemuliaan diri.
Mereka adalah bangsa yang tak pernah dijajah, sehingga tak
memiliki mental inlander yang serba minder dan selalu mengalah.
Mereka adalah bangsa yang penuh percaya diri karena dididik oleh
seorang Nabi dan mengikuti ajarannya secara konsisten sehingga kemuliaan
dirinya sangat terjaga.
Mereka tidak pernah sudi dihina oleh musuh-musuh negara dan agama.
Dan mereka menolak untuk mengalah kepada orang-orang yang jelas-jelas
melecehkan wibawa agama dan bangsanya.
Itulah mereka, terserah apa kata dunia ?
Ketika 3.000 pasukan ini sampai di Balqa’, amir pasukan mengirim
mata-mata. Ternyata jumlah pasukan Romawi sekitar 200.000 personil; 100.000
dikirim oleh Kaisar dan 100.000 yang lain dikirim oleh Syurahbil.
Jumlah yang sangat tidak sebanding. Ibarat kerikil melawan gunung
menjulang. Dan ibarat Dawud melawan Jalut.
Sebagian mengusulkan agar panglima mengutus kurir guna meminta
tambahan pasukan, namun Abdullah bin Rawahah menolak keras;
“Wahai Kaum...
Demi Allah, mengapa kalian membenci mati syahid, yang karenanya
kalian keluar menuju medan perang ini? Kita tidak pernah berperang dengan
mengandalkan jumlah, kekuatan atau pasukan kita yang banyak. Kita perangi
mereka karena kita mengandalkan Agama ini yang dengannya Allah memuliakan kita,
maka songsonglah (kematian), sungguh dihadapan kalian hanya ada dua keuntungan;
kemenangan atau mati syahid”.
Mendengar qaul fashl ini, semangat pasukan berkobar dan menyala.
Aroma syurga telah mereka cium dari jarak sekian mil sebelum kedua pasukan
berjumpa. Bayang-bayang wajah bidadari telah terlihat menggoda. Dan
istana-istana yang mengalir dibawahnya sungai-sungai telah tampak begitu nyata
dalam pandang mereka.
Meskipun tanpa baginda Nabi saw dan akhirnya ketiga panglima
mereka gugur sebagai syuhada, namun para ulama sepakat menyebut perang ini
sebagai ghozwah karena jumlah pasukan yang terbanyak setelah perang Ahzab dan
yang lebih penting daripada itu adalah heroisme pasukan yang luar biasa.
#Hikmah&Ibrah
Saudaraku...
Yang kalian hadapi bukan penista itu sebagai pribadi. Namun
ia sebagai pion dan wayang yang dimainkan Sang Dalang.
Dan jumlah antek, kekuatan militer, daya dukung
ekonomi serta perangkat-perangkat perang, mereka sangat mirip dengan
Romawi saat itu.
Aksi 112 jelas bukan perang, apalagi seheroik perang Mu’tah diatas
dan tidak perlu bertanya; kenapa kita belum juga diizinkan berperang?
Ya, aksi ini bukan perang dan tidak boleh berakhir perang. Karena
negeri ini adalah rumah kita. Tidak mungkin kita membakar rumah sendiri.
Namun mari kita merenung sejenak ! Ada berapa jumlah sebab
terjadinya perang Mu’tah?
Hanya satu; terbunuhnya utusan. Dan para sejarawan menyebutnya
sebagai sebuah bentuk penghinaan. Ya, satu penghinaan 'saja'.
Sekarang kita tanyakan kepada diri kita sendiri; berapa banyak penghinaan yang kita alami saat ini?
Al Maidah 51 dikatakan sebagai alat kebohongan
adalah penghinaan terhadap agama.
Aksi damai 411 disikapi secara represif dan para ulama
banyak yang luka-luka ada satu korban syahid di depan istana adalah penghinaan
terhadap ulama dan umat.
Persidangan yang terkesan sekali diulur-ulur adalah
penghinaan terhadap rasa keadilan bangsa.
KH. Ma’ruf Amin dituduh memberikan kesaksian palsu juga
penghinaan.
MUI dituduh jualan fatwa adalah penghinaan.
Para Qiyadah aksi 212 mulai dikasuskan, difitnah dan di
bully adalah penghinaan.
Islam disebut ideologi tertutup dan iman kepada hari
akhir dikatakan ramalan masa depan adalah penghinaan.
Para peserta aksi 411 dan 212 dituduh dibayari adalah
penghinaan.
Kantor PBNU digruduk massa, 7 Februari 2017 adalah
penghinaan.
Kantor dan rumah laskar FPI dilempari bom molotov
adalah penghinaan.
Mencatut nama NU dalam acara istighosah politik adalah
penghinaan.
Menyebarluaskan buku 7 Dalil bolehnya memilih pemimpin
kafir dengan mengatasnamakan NU adalah penghinaan.
Istana yang terkesan melindungi Penista dengan bukti
hingga hari ini statusnya terdakwa namun juga belum diberhentikan sementara,
malah mulai hari ini yang bersangkutan aktif kembali sebagai Gubernur DKI
adalah bentuk penghinaan kepada bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum
dan moralitas.
Dan masih banyak lagi daftar penghinaan terhadap Islam
dan umatnya sejak kasus ini mencuat.
Jika dibandingkan dengan sebab terjadinya Perang Mu’tah
sungguh sangat jauh sekali respon umat ini.
Umat Islam saat ini sebagian besarnya adalah sumbu
panjang alias selalu mengalah.
Sedangkan para sahabat Nabi adalah jenis 'umat sumbu
pendek' yang mudah ‘meledak’ dan marah.
Ya, masak hanya karena satu orang terbunuh mereka
mengerahkan tiga ribu pasukan?
Inilah watak umat 'Islam sumbu pendek'. Meletup-letup
dan emosional.
Namun sebenarnya ada analisa yang jauh lebih mengerikan
tentang kenapa respon umat ini masih belum padu?
Jangan-jangan kita sudah tidak punya harga diri ( izzah
) atau tidak paham bagaimana memperjuangkannya?
Maka berangkatlah ke Jakarta untuk 112, bagaimanapun
kondisimu saat ini!
Bukan untuk perang.
Hanya untuk menuntut keadilan.
Hanya menuntut kehormatan kita dihargai.
Hanya untuk menyerukan Umat Islam DKI agar tidak
memilih pemimpin kafir apalagi rasis dan arogan. Demi tegaknya NKRI, bangsa
yang kita cintai bersama.
Jika untuk aksi damai saja langkahmu begitu gontai,
bagaimana jika seruan jihad benar-benar berkumandang?
Hadanallahu wa iyyakum
09/02/2107
Suhari Abu Fatih
#Ma’hadAlFatihKlaten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar